Menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’alaa adalah sumber kebahagiaan. Ibadah yang kita kerjakan merupakan bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal. Ada berbagai macam ibadah yang dapat diamalkan mulai dari yang wajib hingga yang sunnah. Ibadah wajib berarti harus dilaksanakan sebab meninggalkannya berdosa. Adapun ibadah sunnah sifatnya anjuran dan menjalankannya akan mendapatkan pahala tetapi tidak berdosa jika ditinggalkan. Setiap amalan yang kita kerjakan harus dilakukan dengan niat ikhlas kepada Allah subhanahu wata’alaa. Ikhas termasuk amalan hati yang memiliki kedudukan tinggi.

Jika kamu ingin mengetahui ketulusan amalmu dan keikhlasanmu kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
maka timbanglah dengan apa yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, banyak berdoa meminta keikhlasan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang diberi wahyu pagi dan petang,
beliau orang yang suci, disucikan, dan dilindungi dari kesalahan,
manusia yang paling agung dan paling tinggi derajatnya di surga. Namun beliau tetap berdoa setelah selesai beramal:
“Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tidak mengandung riya dan sum’ah.”
Maka layak bagi kita semua, terlebih lagi kita ini lemah, tak berdaya, dan lalai,
serta kita yang sebagaimana kita ketahui seperti apa hati kita; selayaknya kita banyak meminta keikhlasan kepada Allah.
Diriwayatkan dalam hadis Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu,
bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum sangat takut terhadap riya,
sehingga mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu.
Lalu Nabi memerintahkan mereka untuk berdoa, “Ya Allah, kami berlindung kepada Engkau dari menyekutukan Engkau, sedangkan kami mengetahui itu.
Kami juga memohon ampun kepada Engkau dari menyekutukan Engkau yang tidak kami ketahui.”
Hasan al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Sungguh tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali orang munafik.”
Oleh sebab itu, diri seorang Muslim selalu mencerca diri sendiri, karena takut amalnya tidak diterima,
dan takut akhir amalannya hanya sia-sia.
Namun jika ia banyak memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan yang diperintahkan kepada para sahabat beliau untuk meminta kepada Allah ‘Azza wa Jalla
agar dijauhkan dari riya, maka ia akan mendapat taufik.

***

إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْرِفَ صِدْقَ عَمَلِكَ وَإِخْلَاصِكَ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
فَامْتَحِنْهَا بِأُمُورٍ بَيَّنَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوَّلُ أَمْرٍ كَثْرَةُ سُؤَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِخْلَاصَ
إِذَا كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَأْتِيهِ الْوَحْيُ صُبْحًا وَعَشِيًّا
طَاهِرٌ مُطَهَّرٌ مُنَزَّهٌ مُبَرَّأٌ
أَفْضَلُ النَّاسِ وَأَعْلَاهُمْ دَرَجَةً فِي الْجَنَّةِ وَمَعَ ذَلِكَ يَدْعُو بَعْدَ انْقِضَاءِ عَمَلِهِ
اللَّهُمَّ حَجًّا لَا رِيَاءَ فِيهِ وَلَا سُمْعَةَ
فَحَرِيٌّ بِنَا جَمِيعًا وَنَحْنُ الضُّعَفَاءُ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ وَنَحْنُ الْمُقَصِّرُوْنَ
وَنَحْنُ مَنْ نَحْنُ عَلَى قُلُوبِنَا أَنْ نُكْثِرَ مِنْ سُؤَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الْإِخْلَاصَ
وَقَدْ جَاءَ فِي حَدِيثِ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ خَافُوا الرِّيَاءَ
فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَقُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ وَنَحْنُ نَعْلَمُ
وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
يَقُولُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
إِنَّ النِّفَاقَ لَا يَخَافُهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يَأْمَنُهُ إِلَّا مُنَافِقٌ
لِذَلِكَ الْمُؤْمِنُ دَائِمًا نَفْسُهُ لَوَّامَةٌ يَخْشَى أَلَّا يُقْبَلُ عَمَلُهُ
وَيَخْشَى أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَمَلِهِ مَا فِيهِ
فَإِذَا أَكْثَرَ مِنْ سُؤَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَمَا فَعَلَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَسْأَلُوا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
نَفْيَ الشِّرْكِ يَعْنِي الرِّيَاءَ عَنْ أَنْفُسِهِمْ فَإِنَّهُ مُوَفَّقٌ