Hukum Menyantuni Anak Yatim di Hari Asyuro – Ustadz Ammi Nur Baits

Keistimewaan bulan Muharram sudah banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat muslimin, salah satunya yakni keutamaan menyantuni anak yatim. Amalan bulan Muharram akan dilipatgandakan, sebagaimana dosa pun demikian.

Keistimewaan anak yatim, berbeda halnya dengan anak pada umumnya. Sebab mereka mengalami cobaan dari psikis seperti kehilangan orang tuanya. Oleh karena itu, banyak kita dapati cerita berupa keajaiban menyantuni anak yatim. Seperti kisah keberkahan yang menyertai Halimah As-Sa’diyah (ibu susu Rasulullah).

Begitupun hadits tentang memelihara anak yatim yang tertuang secara apik dalam ceramah menyantuni anak Yatim di banyak tempat, mengajarkan kepada kita bahwa batasan umur anak yatim itu setelah mereka baligh. Selain itu, tidak asing bagi Anda … hadits usap kepala anak yatim dan posisi orang yang menyantuni anak yatim dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laksana dua jari (sakit dekatnya)!

Kehebatan anak yatim dapat kita ketemukan di beranda sosial media, meski aslinya lebih banyak dari ekspose-an itu semua. Dan kali ini, kami menyoroti Hukum Menyantuni Anak Yatim di Hari Asyuro (atau bisa jadi menyantuni anak yatim di bulan Suro secara umum) yang marak diperbincangkan keabsahannya. Ustadz Ammi Nur Baits mencoba menjelaskannya secara gamblang. Terkait amalan di bulan Muharram yang membutuhkan dalil, jika ada yang mengkhususkannya dengan demikian dan demikian. Sedikit info bahwa 10 Muharram jatuh pada tanggal 10 September 2019 (menurut sumber MUI).

Di antara amalan yang masyru’ ialah puasa bulan Muharram yang jatuh pada 10 Muharram dan keutamaan 10 Muharram yang dikenal dengan kemenangan Musa atas Fir’aun yang mana kaum Yahudi bersuka cita atasnya, maka umat Islam lebih layak dengan hari tersebut. Untuk menyelisihi Yahudi, Rasulullah menambahkannya satu hari sebelum atau sesudah tanggal 10 yaitu tanggal 9 dan tanggal 11 (adapun riwayatnya akan dibahas pada kajian tersendiri, insya Allah). Mari kita ramaikan sunnah bulan Muharram dengan mengikuti dalil. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Asal ibadah adalah tercegah (hingga ada dalil yang melatarbelakanginya*)” Mari kita beribadah di hari Asyura dengan dalil yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.