Sesungguhnya Allah subhanahu wata’alaa menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri. Dan bersuci bisa bermakna maknawi atau mutlak. Bersuci secara maknawi yaitu menyucikan diri dari akhlak-akhlak yang buruk, sifat-sifat hinda, dan perbuatan-perbuatan kotor. Sedangkan secara mutlak, bersuci berarti syarat sah shalat, thawaf, dan menyentuh mushaf. Oleh sebab itu seorang muslim sudah seharusnya mengetahui dan memahami dengan baik hal-hal yang menjadi pembatal wudhu.

Pendapat dari banyak sahabat Nabi—semoga Allah meridai mereka—
bahwa darah membatalkan wudu,
namun ada dua macam darah yang tidak membatalkan wudu,
keduanya dimaafkan dan tidak menjadi pembatal.
Pertama, apa yang oleh penulis dikeluarkan dari kategori darah yang banyak,
artinya bahwa darah yang sedikit tidak jadi pembatal.
Dalilnya bahwa para Sahabat, misalnya Ibnu Umar yang memandang darah membatalkan wudu,
pernah salat dan menggaruk bisul di tangannya
hingga keluar darah darinya padahal dia sedang salat,
namun tidak membatalkan salatnya.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa darah yang sedikit tidak membatalkan wudu.
Ini adalah jenis pertama, pembatal wudu, tetapi dimaafkan.
Jenis kedua adalah darah yang terus menerus.
Ada riwayat sahih bahwa para sahabat Nabi—semoga Allah meridai mereka—
salat dengan luka-luka mereka.
Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga memberi keringanan bagi orang yang berhadas terus-menerus,
seperti orang yang lukanya terus mengeluarkan darah,
atau juga wanita Mustahadhah, seperti Hamnah—semoga Allah meridainya—
yang tetap salat dan meletakkan semacam wadah di bawahnya,
lalu terlihat di dalamnya bercak berwarna kehitaman, kekuningan dan kemerahan,
Ini menunjukkan adanya hadas yang terus menerus,
akan tetapi hukumnya dimaafkan sehingga tidak menjadi pembatal.
Namun hendaknya dia berwudu untuk setiap kali akan salat lima waktu.
Jika Anda sudah pahami hal ini, maka tidak ada hadis yang bisa dimaknai
bahwa darah tidak membatalkan wudu.
Semua keterangan yang ada, mungkin karena kadarnya yang sedikit,
atau terus menerus keluarnya. Adapun yang selain itu
maka hukum asalnya menurut fatwa dan ketetapan para sahabat Nabi
bahwa darah adalah pembatal wudu.

***

فَقَوْلُ كَثِيرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ
أَنَّ الدَّمَ يَكُونُ نَاقِضًا لِلْوُضُوءِ
لَكِنْ لَا يَنْقُضُ مِنَ الْوُضُوءِ… مِنَ الدَّمِ نَوْعَانِ
لَيْسَا بِنَاقِضَيْنِ عُفِيَ عَنْهُمَا
الْأَوَّلُ مَا احْتَرَزَ مِنْهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ الدَّمُ الْكَثِيرُ
فَإِنَّ الدَّمَ الْقَلِيلَ لَا يَنْقُضُ
بِالدَّلِيلِ أَنَّ الصَّحَابَةَ كَابْنِ عُمَرَ الَّذِي يَرَى نَقْضَ الْوُضُوءِ
صَلَّى وَفِي يَدِهِ بَثْرَةٌ فَحَكَّهَا
فَخَرَجَ مِنْهَا دَمٌ وَهُوَ فِي صِلَاتِهِ
وَلَمْ يَنْفَتِلْ مِنْ صَلَاتِهِ
فَدَلَّنَا عَلَى أَنَّ الدَّمَ الْقَلِيلَ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ
هَذَا الْأَمْرُ الْأَوَّلُ الَّذِي عُفِيَ عَنْهُ فِي نَقْضِ الْوُضُوءِ
الْأَمْرُ الثَّانِي الدَّمُ الْمُسْتَمِرُّ
فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ
كَانُوا يُصَلُّونَ فِي جِرَاحَاتِهِمْ
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَفَّفَ عَلَى مَنْ كَانَ حَدَثُهُ دَائِمًا
كَمَنْ جُرْحُهُ يَثْعُبُ
أَوْ مِثْلُ مُسْتَحَاضَةٍ حَمْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
حِيْنَمَا كَانَتْ تُصَلِّي وَتَجْعَلُ تَحْتَهَا طُسْتًا
وَيُرَى فِيهِ أَثَرُ الْكُدْرَةِ وَالصُّفْرَةِ وَالْحُمْرَةِ
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْحَدَثَ الدَّائِمَ
وَالْحَدَثُ الدَّائِمُ عُفِيَ فِيهِ فَلَا يَكُونُ نَاقِضًا
وَإِنَّمَا يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ مِنْ مَفْرُوضَاتِ الْخَمْسِ
إِذَا عَرَفْتَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَسْتَقِيمَ حَدِيثٌ
عَلَى أَنَّ الدَّمَ لَيْسَ بِنَاقِضٍ
فَكُلُّ مَا جَاءَ إِمَّا لِكَونِهِ يَسِيرًا
أَوْ لِكَوْنِهِ دَائِمًا وَمَا عَدَا ذَلِكَ
فَإِنَّهُ عَلَى الْأَصْلِ مِنْ قَضَاءِ الصَّحَابَةِ وَإِفْتَاءِهِمْ
أَنَّهُ يَكُونُ نَاقِضًا