Memuliakan Ilmu #4: Mengikhlaskan Niat Dalam Belajar – Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA
Setiap muslim diwajibkan untuk mencari ilmu agama. Dan hendaknya kita benar-benar memuliakan ilmu lantaran ilmu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Maka salah satu bentuk prinsip di dalam memuliakan ilmu yaitu mengikhlaskan niat dalam belajar. Yuk simak kajian kitab Khulashah Ta’zhimil Ilmi karya Syaikh Shalih Al-Ushaimi dengan pemateri Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA berikut ini.
Mengikhlaskan niat dalam beramal adalah pondasi dan tangga
agar amalan tersebut diterima. Allah ta’ala berfirman,
Artinya: “Mereka hanya diperintahkan untuk beribadah kepada
Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama”. QS. Al-Bayyinah (97): 5.
Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Amal itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan
(balasan) sesuai niatnya”. HR. Bukhari dan Muslim.
Kaum salaf tidaklah lebih unggul dan lebih berprestasi,
melainkan karena keikhlasan mereka kepada Allah Rabb alam semesta.
Abu Bakr al-Marrudziy rahimahullah mengisahkan, “Aku
pernah mendengar seseorang berbicara dengan Imam Ahmad tentang
kejujuran dan keikhlasan. Maka Imam Ahmad berkomentar, “Berkat
dua hal itulah, para salaf dahulu meraih kedudukan yang tinggi”.
Kadar ilmu yang didapat seseorang itu tergantung kadar
keikhlasannya.
Ikhlas dalam belajar agama dibangun di atas empat pondasi.
Jika seseorang memenuhinya, maka niatnya dianggap ikhlas:
Pertama: Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.
Dengan mempelajari ibadah apa saja yang diwajibkan atas dirinya.
Serta berupaya mengetahui perintah dan larangan Allah.
Kedua: Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari orang
lain. Dengan cara mengajari dan mengarahkan mereka kepada kebaikan
dunia dan akhirat.
Ketiga: Berniat menghidupkan ilmu agama dan menjaganya
supaya tidak sirna.
Keempat: Berniat mengamalkan ilmu tersebut.
Dahulu para salaf rahimahumullah senantiasa merasa khawatir
belum ikhlas dalam proses mereka belajar agama. Sehingga mereka
memilih tidak mengklaim keikhlasan, dalam rangka kehati-hatian.
Bukan karena mereka belum merealisasikannya di dalam hati.
Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah engkau belajar ilmu
agama semata karena Allah?”. Beliau menjawab, “Ikhlas itu berat.
Namun Allah menumbuhkan di dalam hatiku kecintaan terhadap ilmu.
Sehingga akupun senantiasa mempelajarinya”. Barang siapa yang tidak mempedulikan keikhlasan, niscaya ia
akan kehilangan banyak ilmu dan limpahan kebaikan.
Siapapun yang ingin selamat, hendaklah ia selalu mengecek
keikhlasannya dalam segala aktivitas. Yang kecil maupun yang besar.
Yang dirahasiakan maupun yang terlihat.
Upaya senantiasa mengecek keihklasan ini akan mendorong
kita untuk terus memperbaiki niat.
Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah menuturkan, “Sesuatu yang
paling sulit untuk aku perbaiki adalah niatku. Sebab ia selalu berubah-ubah”.
Bahkan Sulaiman al-Hasyimiy rahimahullah berkata, “Terkadang saat akan menyampaikan sebuah hadits, aku sudah berupaya
menghadirkan niat. Namun ketika telah menyampaikan separoh hadits, tahu-tahu niatku berubah. Sehingga ternyata untuk menyampaikan
satu hadits saja bisa membutuhkan niat berkali-kali”.